Atas nama sebuah stasiun televisi, Boström kemudian berkeliling mendatangi banyak keluarga orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, guna mencari tahu tentang masalah tersebut. Salah satu fakta yang ia dapat dalam perjalanannya yang menyedihkan itu adalah menyangkut Bilal Ahmad Ghanan.
Saat itu jam menunjukkan tengah malam ketika suara kendaraan militer Israel terdengar di luar desa Imatin di Tepi Barat sebelah utara. Desa yang dihuni 2.000 orang itu sunyi senyap, gelap, karena Israel telah mematikan aliran listrik di sana. Orang-orang berdiam di rumah mereka, di atap, di balik tirai, di balik pohon, menanti siapa yang akan menjadi korban pertama dari kekejaman tentara Israel. Tidak ada yang bisa keluar bahkan seekor kucing pun, tanpa mempertaruhkan nyawa mereka.
Lima hari sebelumnya, 13 Mei 1992, tentara Israel mendatangi desa itu untuk menangkap Bilal Ahmad Ghanan, pemuda 19 tahun yang sangat aktif melempari Israel dengan batu, membuat hidup penjajah menjadi tidak nyaman.
Ia merupakan salah satu pemuda Palestina yang paling dicari, karena merupakan pelempar batu yang cukup dikenal. Oleh sebab itu ia hidup berpindah-pindah di sekitar Nablus bersama pemuda pelempar batu lainnya, mereka bahkan tinggal di gunung. Jika mereka tertangkap oleh Israel, itu artinya kematian. Entah apa yang membuat Bilal turun ke desa pada hari itu, sehingga ia berhasil ditangkap Israel. Menurut kakaknya Talal, mungkin ia kehabisan makanan.
Malam itu, semuanya berjalan lancar sesuai rencana tentara Israel, ketika Bilal sudah mendekat, tembakan pertama mengenai dadanya. Menurut penduduk desa yang menyaksikan peristiwa itu, Bilal kemudian ditembak di tiap kakinya. Kemudian muncul dua orang tentara yang menembak bagian perutnya. Mereka lalu menyeret Bilal dengan menarik kakinya sepanjang kira-kira 20 langkah. Menurut saksi mata, beberapa orang dari PBB dan Palang Merah yang sedang berada disekitar tempat kejadian dan mendengar tembakan, segera mendatangi tempat itu untuk melihat dan merawat korban.
Terjadi perdebatan di antara mereka mengenai siapa yang berhak mengurus Bilal. Perdebatan itu berakhir dengan diangkutnya Bilal ke jeep tentara Israel yang segera membawanya keluar desa. Tidak ada yang tahu ke mana pemuda itu di bawa.
Lima hari kemudian, ketika hari sudah malam, Bilal kembali dalam keadaan sudah mati dan terbungkus kain hijau dari rumah sakit. Kapten Yahya, yang memimpin tentara Israel membawa Bilal pulang, berbisik ke telinga Boström, di tengah kegelapan, "Saat yang paling sulit bagi mereka." Ketika orang-orang Kapten Yahya menurunkan mayat Bilal dan mengganti kain hijau itu dengan kain katun, ia menyuruh beberapa kerabat Bilal untuk menggali lubang kubur dan mengaduk semen.
Ketika mereka menggali lubang kubur, tentara Israel tak hentinya tertawa-tawa dan bercanda dengan sesamanya hingga mereka pulang.
Saat Bilal diturunkan ke liang kubur, kain penutup terbuka, dan terlihat dadanya. Tubuhnya telah disayat pisau bedah dari bawah dagu hingga ke pusar, lalu dijahit kembali.
Bilal bukanlah orang pertama yang telah dikuburkan dalam keadaan serupa. Hal tersebut menimbulkan dugaan kuat bahwa sesuatu telah terjadi terhadap tubuh-tubuh orang Palestina itu.
Orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Jaur Gaza akhirnya yakin apa yang telah terjadi dengan putra-putra mereka. Anak-anak kami telah dijadikan pendonor organ secara paksa, demikian kata keluarga dari Khaled di Nablus, ibu dari Raed di Jenin, dan paman-paman Mahmud dan Nafes di Gaza kepada Boström. Mereka semuanya menghilang selama beberapa hari, kemudian kembali pada malam hari, dalam keadaan tewas dan tubuhnya disayat pisau bedah.
Mengapa mereka harus menahan mayat-mayat mereka selama beberapa hari sebelum kami bisa menguburnya? Apa yang terjadi pada tubuh-tubuh mereka ketika itu? Dan mengapa otopsi perlu dilakukan, padahal penyebab kematiannya sudah jelas, dan tidak ada ijin dari kami untuk melakukan itu? Dan mengapa mayat mereka harus dikembalikan pada malam hari? Mengapa tentara yang membawa mereka pulang ke rumah? Mengapa mereka menutup area sekitar tempat penguburan? Dan mengapa mereka harus memadamkan listrik ketika itu? Banyak pertanyaan yang muncul.
Sekarang, keluarga dari para pria Palestina yang dibunuh itu ditidak lagi mengajukan pertanyaan semacam itu. Mereka sudah tahu jawabannya.
Jurubicara militer Israel menyanggah pernyataan orang-orang Palestina, dan mengatakan bahwa pencurian organ itu merupakan cerita bohong yang dikarang orang Palestina. Semua orang Palestina yang terbunuh selalu diotopsi, itu merupakan rutinitas, demikian katanya.
Bilal Ahmad Ghanan merupakan satu di antara 133 orang Palestina yang mati terbunuh tahun itu. Menurut data statistik, tahun itu orang Palestina tewas karena bebagai macam sebab, ada yang ditembak di jalan, karena ledakan, dipukuli, terkena gas air mata, dihantam keras, digantung di penjara, ditembak di sekolah, dibunuh di rumah, dan lain sebagainya. 133 orang itu usianya bervariasi, mulai dari 4 bulan hingga 88 tahun. Ada 69 tubuh yang kembali dalam keadaan sudah "diotopsi." Itu berarti hanya separuhnya. Dengan demikian, pernyataan jurubicara militer Israel yang mengatakan bahwa otopsi selalu dilakukan atas orang-orang Palestina yang tewas terbunuh, sama sekali tidak benar. Dengan demikian masih patut dipertanyakan, ada apa sebenarnya?
Sebagaimana diketahui, kebutuhan organ di Israel sangat tinggi, oleh karena itu, donor ilegal pasti terjadi sudah sejak lama. Dan hal itu dilakukan atas sepengetahuan pemerintah Israel. Bahkan para dokter senior di rumah-rumah sakit besar terlibat, sebagai mana petugas-petugas lainnya di setiap level. Faktanya, banyak pemuda Palestina yang menghilang, kemudian dikembalikan pada hari ke 5 di waktu malam dengan penuh kerahasiaan, dalam keadaan mati, dan tubuhnya disayat pisau bedah yang dijahit kembali.
0 komentar:
Posting Komentar