Anak muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu memiliki sosok tubuh sedang, ramping, dengan bentuk kepala besar, punggung lebar, dan anggota tubuh lainnya yang sangat serasi. Kulitnya cerah, tidak terlalu putih dan tidak coklat. Rambut dan janggutnya lebat dan hitam, tidak lurus dan tidak terlampau ikal. Rambutnya mencapai pertengahan antara daun telinga dan punggungnya. Panjang janggutnya serasi. Sementara dahinya lebar, matanya berbentuk oval lebar, dan alis matanya yang lebat tampak melengkung namun tidak bertaut. Hidungnya mancung, mulutnya lebar berbentuk bagus. Walaupun janggutnya dibiarkan tumbuh, ketampanannya senantiasa berpendar, sedangkan kumisnya tumbuh lebat di atas bibir atasnya. Yang menambah ketampanan alamiahnya adalah cahaya yang memancar di wajahnya dan pendar cahaya itu terutama tampak pada dahinya yang lebar dan matanya yang bening.
Perempuan yang kelak mendapat gelar agung “Ibunda Pertama Orang-Orang Beriman” itu benar-benar terpesona dan terpikat dengan anak muda itu. Menyadari dirinya masih cantik, namun lima belas tahun lebih tua ketimbang anak muda itu, tiba-tiba membersit dalam benaknya “ide berani”: maukah anak muda itu menikah dengannya? Memang dia sudah banyak mengenal kehidupan, juga mengenal pelbagai tipe pria. Dia pun telah melintasi dua kali perkawinan dengan dua pria dari kalangan bangsawan. Dia juga sudah banyak memberi upah kepada sejumlah orang tua dan anak muda yang membawa barang dagangannya. Tapi, dalam hidupnya, dia belum pernah melihat atau mengenal pria yang sungguh istimewa seperti anak muda yang satu itu.
Begitu anak muda itu memohon diri dan berlalu, hati perempuan nan cantik dan berkepribadian sangat matang itu sangat resah dan gelisah. Bayang-bayang anak muda nan tampan, santun, ramah, dan berakhlak mulia itu benar-benar “menyergap” dan menggelayuti benaknya. Dia pun tenggelam dalam pikirannya, membayangkan kembali nada-nada suara anak muda yang menggemakan kejujuran, keramahan, kesantunan, dan ketegasan itu ketika menceritakan perjalanannya ke Syam. Dia tenggelam dalam perasaannya membayangkan kembali seraut wajah anak muda yang memancarkan keagungan dan kemudaan itu. Tiba-tiba, dia merasakan suara hatinya berputar-putar mengitari ruangan tempat dia bertemu dengan anak muda tersebut. Seketika pula hatinya bergetar dan tubuhnya gemetar. Dia kemudian bertanya kepada dirinya sendiri, “Duh, mengapa hatiku bergetar dan tubuhku gemetar, sedangkan masa mudaku hampir atau malah sudah berlalu?”
Apa sesungguhnya yang sedang terjadi?
Ketika merasa telah menemukan jawabannya, perempuan anggun nan bangsawan itu tiba-tiba tertegun dan tercenung. Benar-benar bingung dan limbung. Dia tidak tahu bagaimana menghadapi dunia dengan membawa perasaan seperti itu, selepas sedemikian lama dia menutup hatinya dan terlepas dari kehidupan pria. Dia pun tidak mengerti, bagaimana dia harus menghadapi keluarganya, selepas menolak lamaran para tokoh dan para hartawan terpandang dan terkemuka di kota kelahirannya. Tapi, mengapa pula dia sibuk memikirkan tanggapan kaumnya, sebelum mengetahui tanggapan anak muda itu tentang dirinya? Apakah anak muda itu akan menaruh hati kepada seorang perempuan berusia empat puluh tahun dan berstatus janda? Ya, seorang perempuan yang telah berusia empat puluh tahun dan berstatus janda.
Perempuan yang mendapat gelar Putri Quraisy (Amirah Quraisy) itu pun merasa diterpa perasaan sangat malu. Dalam usianya yang telah cukup lanjut, jika dibandingkan dengan anak muda itu, tentu dia lebih layak menjadi ibunda bagi anak muda itu. Malah, seandainya ibunda anak muda itu masih hidup pun, usianya tentu belum melintasi empat puluh tahun perjalanan hidup anak manusia. Selain itu, dirinya pun saat itu adalah seorang ibunda. Suami pertamanya memberinya seorang putri yang hampir tiba saatnya memasuki mahligai perkawinan. Sementara suami keduanya telah memberinya seorang putra, seorang bocah yang masih kecil.
Akhirnya, tak kuasa menanggung beban gelegak hati dan pikiran yang sangat berat dan menggelisahkan hati itu, dia pun mengundang seorang sahabat karibnya yang bernama Nafisah binti Munabbih, untuk melepaskan beban yang hampir tak kuasa ditanggungnya itu. Ketika sang sahabat datang menemuinya, dia pun segera melontarkan segala gejolak dan gelegak hati dan pikirannya yang galau dan risau itu kepada sang sahabat. Selepas berbincang dan bertukar pikiran lama, akhirnya sang sahabat menawarkan diri untuk mendekati anak muda itu, dan jika perlu, mengatur pernikahan mereka berdua.
Tak lama selepas meninggalkan rumah megah perempuan anggun nan bangsawan yang sedang diterpa “penyakit cinta” itu, Nafisah pun dengan bergegas segera datang kepada anak muda yang membuat galau dan risau sahabatnya itu. Selepas berbagi sapa sejenak dengan anak muda nan tampan, santun, ramah, dan berakhlak mulia tersebut, Nafisah kemudian “menyergap”nya dengan sederet pertanyaan: apa sebabnya hingga saat itu dia belum juga berkeluarga; mengapa menghabiskan masa mudanya begitu saja; mengapa tidak menenteramkan hati di samping seorang istri yang menyayanginya dan meniadakan kesepian serta dapat menghiburnya?
Mendengar sederet pertanyaan yang mengusik hatinya itu, anak muda yatim dan tak pernah mengenal wajah ayahnya semenjak lahir itu hampir tak kuasa menahan air matanya yang hampir tumpah. Seketika dia teringat akan kesepian dan keperihan hidup yang dideritanya semenjak ditinggal wafat ibundanya sebagai bocah berusia enam tahunan. Dia pun memaksakan dirinya untuk tersenyum seraya menjawab, “Aku belum menemukan siapa yang akan menjadi teman hidupku.” Seketika itu juga Nafisah binti Munabbih “menyergap”nya dengan jawaban, “Bagaimana kalau engkau ditawari seseorang yang memiliki harta, kecantikan, kemuliaan, dan kebangsawanan? Apakah engkau masih juga tidak menaruh perhatian?”
Pertanyaan Nafisah terasa menyentuh hati anak muda itu yang tak lain adalah Muhammad bin ‘Abdullah yang kala itu belum lagi diangkat sebagai Utusan Allah. Seketika itu pula dia mengerti, siapa yang dimaksudkan oleh Nafisah. Dialah Khadijah binti Khuwailid. Siapa lagi, di Kota Makkah kala itu, yang dapat menandingi Khadijah binti Khuwailid dalam hal kemuliaan, kebangsawanan, dan kecantikan? Ya, andaikata benar yang ditawarkan Nafisah adalah Khadijah, tentu saja dia mau. Tapi, apakah memang Khadijah yang dimaksudkan Nafisah? “Bagaimanakah aku dapat menikahinya?” tanya anak muda itu dengan perasaan ragu dan galau. “Serahkan hal itu kepadaku!” jawab Nafisah binti Munabbih lega dan gembira, karena anak muda itu tak menolak calon istri yang ditawarkan kepadanya.
Nafisah binti Munabbih segera memohon diri. Dia meninggalkan anak muda itu hanyut dalam lamunan, membayangkan kelemah-lembutan Khadijah. Terbayang di pelupuk mata dan dalam pikirannya, masa depan nan indah, penuh kemesraan dan kasih sayang. Tapi, dia segera menghentikan angan-angannya, agar tidak mengkhayal terlalu jauh. Sebab, dirinya tahu, Khadijah pernah beberapa kali menolak lamaran orang-orang Quraisy terkemuka dan terpandang. Untuk menenangkan diri, dia segera pergi menuju Ka‘bah seraya berusaha mencoba bersikap realistis.
Pada saat yang sama Nafisah segera menapakkan kaki menuju rumah Khadijah binti Khuwailid. Betapa gembira hati Khadijah selepas mendengarkan hasil perbincangan sahabatnya itu dengan anak muda itu. Khadijah kemudian meminta Nafisah memanggil anak muda itu agar datang kepadanya. Setelah dia datang, Khadijah pun berkata kepadanya, “Wahai putra pamanku! Aku mencintaimu karena kebaikanmu kepadaku. Juga, karena engkau senantiasa terlibat dalam segala urusan di tengah masyarakat dengan sikap nan bijak. Aku menyukaimu karena engkau dapat diandalkan, juga karena keluhuran akhlak dan kejujuran perkataanmu.”
Kemudian perempuan nan bersih dan suci (Al-Thahirah) yang menurut beberapa sumber lahir di Makkah sekitar 555 M dan putri pasangan suami-istri Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai dan Fathimah binti Zaidah bin Al-‘Asham dari Bani ‘Amir bin Lu’ayyi bin Ghalib itu menawarkan dirinya untuk dinikahi. Mereka pun sepakat agar masing-masing berbicara kepada pamannya. Khadijah berbicara kepada pamannya, ‘Amr bin Asad, karena ayahandanya, Khuwailid bin Asad, berpulang menjelang peristiwa Perang Fijar. Pada kesempatan tersebut, Hamzah bin ‘Abdul Muththaliblah, didampingi Abu Thalib bin ‘Abdul Muththalib dan beberapa orang lainnya, yang diutus Bani Hasyim untuk mewakili mereka. Meskipun relatif masih muda, Hamzah adalah yang paling dekat hubungannya dengan Bani Asad, karena saudara perempuan kandungnya, Shafiyyah binti ‘Abdul Muththalib, menikah dengan saudara lelaki Khadijah, Al-‘Awwam bin Khuwailid (suami keduanya). Maka, Hamzah membawa keponakannya menemui ‘Amr bin Asad dan melamar Khadijah. Kesepakatan dicapai di antara mereka bahwa Muhammad harus memberinya mahar dua puluh ekor unta betina. Dan, kemudian, dilaksanakanlah pernikahan antara Muhammad bin ‘Abdullah dan Khadijah binti Khuwailid bin Asad yang berasal dari klan Bani Hasyim dari suku Bani Asad.
Ya, itulah penggalan kisah cinta antara Khadijah Al-Kubra dengan Muhammad Saw. yang antara lain Ahmad Rofi' Usmani hadirkan dalam buku Rumah Cinta Rasulullah. Kisah-kisah cinta lainnya, antara beliau dan para istri yang lain, juga bagaimana beliau “mengarungi” gelombang perkawinan beliau, yang kadang juga “memanas”, serta bagaimana tentang hubungan dan etika seksual yang beliau ajarkan, Anda dapat membacanya dalam buku tersebut yang telah beredar sejak 24 Mei 2007 dan diterbitkan oleh Penerbit Mizania, Bandung. Selamat menikmati buku tersebut!
Sumber: http://arofiusmani.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar